Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Minggu, 05 Mei 2013

NIKAH SIRI DAN STATUS ANAK

MENIKAH , menurut  pengertian fikih, nikah adalah akad yang mengandung kehalalan melakukan hubungan suami isteri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq). Inti akad nikah dalam ta’rif ini adalah kehalalan melakukan hubungan suami isteri yang terletak pada akad nikah.

Sedangkan pengertian nikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 1 disebutkan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan disebut sebagai mitsaaqan ghalidha, yaitu ikatan/akad yang sangat kuat sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (QS. An-Nisa’: 21)

Tujuan perkawinan  adalah untuk membentuk rumah  tangga yang bahagia dan kekal, yang dalam bahasa agama disebut keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa tidak lain adalah bahwa perkawinan itu harus berdasarkan hukum agama tidak berdasarkan kepada hukum yang lain.

Dalam Kitab Fiqh Islamy wa Adillatuh oleh Dr Wahbah Zuhaily disebutkan bahwa akad pernikahan harus terpenuhi rukun dan syarat nikah menurut fikih munakahat (perkawinan), yang di antaranya rukun  perkawinan itu harus terpenuhi lima unsur: Pertama, adanya calon pengantin laki-laki; Kedua, calon pengantin perempuan; Ketiga, wali nikah; Keempat, dua orang saksi, dan; Kelima, ijab qabul. Kalau kelima rukun ini sudah ada dan semuanya memenuhi persyaratannya, maka perkawinan itu telah sah menurut hukum Islam.

Sementara dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian perkawinan yang hanya memenuhi syarat dan rukun pernikahan secara Islam saja adalah sah menurut hukum. Tidak dilakukan pencatatan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mengurangi sahnya perkawinan. Hanya saja perkawinannya yang tidak dilakukan dihadapan PPN atau tidak tercatat dalam akta perkawinan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum.

Hal itu dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian pernikahannya tidak bisa dibuatkan akta nikah dan kalau ada anak dalam perkawinan tersebut, nantinya anak itu tidak bisa dibuatkan akta kelahiran.

lalu bagaimana dengan Perkawinan bawah tangan ( SIRI ).
Meski masih menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, praktik perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal, Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan, bagi perempuan.

Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti kawin sirri atau nikah sirri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam, atau Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim.

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah kawin bawah tangan dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan  bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa  memenuhi ketentuan UU yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2). Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan PPN tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum, yang dibuktikan dengan akta perkawinan.

Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan  perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia, tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi.

Dari kacamata sosial, akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan alias kumpul kebo atau dianggap menjadi istri simpanan.

DAMPAK PADA STATUS ANAK
Tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan Pasal 43 UU Perkawinan, Pasal 100 KHI).

Di dalam akte kelahiran pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.

Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. 3. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.

Pencatatan perkawinan sangatlah penting, terutama untuk mendapatkan legalitas (pengakuan di mata hukum) dan hak-hak seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak. Jadi sebaiknya, sebelum memutuskan melakukan sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah sirri) dihadapan petugas tidak resmi, pikirkanlah terlebih dulu.

Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut hukum negara yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), pilihan ini jauh lebih baik dan tidak berisiko. Karena jika tidak, ini akan menyulitkan di masa yang akan datang.

Oleh karna itu maraknya anak diluar pernikahan yang sah menurut hukum positif, adalah suatu fonomena hukum yang harus di cari solusinya, karna itu akan berakibat pada hak anak terhadap bapak biologisnya. maka muncullah Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK)     yang lahir dari kasus Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono Baca selengkapnya

jadi sekali lagi bahwa pernikahan dibawah tangan ( siri) secara hukum syariat adalah sah pernikahannya, namun belum mempunya kekuatan hukum mengikat dengan pihak kedua ( suami ) , sehingga anak yang lahir akibat pernikahan tersebut , menurut kacamata UU 1/74 hanya mempunyai hubungan perdata dengan IBUnya. yang sering diistilahkan " anak luar nikah " UUP 1/74 . Dari sisi kepentingan perdatanya dengan sang ayah / Bapak maka berdasarkan Putusan MK dapat di buktikan dengan bukti2 otentik.
"“Anak   yang   dilahirkan   di   luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu  pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai  hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
Semoga bermanfaat tulisan ini bagi kita semua ( by .AF KUA Tugu Trenggalek )

Tidak ada komentar: