Al-Qur`an seringkali menyebut urusan keluarga.
" Menurut Abdul Wahab Khallaf, pakar Hukum Islam, ditemukan sebanyak 70 ayat yang
secara spesifik mengulas soal keluarga" . Bahkan, semua penjelasan tentang hukum
Islam dalam Al-Quran tidak ada yang lebih rinci dari pada hukum keluarga yang
di dalamnya antara lain diulas soal perkawinan dan segala hal lain menyangkut
hubungan lelaki-perempuan. Keluarga merupakan unsur sentral dalam ajaran Islam.
Sebab unit keluarga memang merupakan sendi utama masyarakat. Atas landasan
unit-unit keluarga yang sehat akan berdiri tegak bangunan masyarakat yang sehat.
Keluarga adalah sebuah
institusi yang minimal memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut. 1) Fungsi
religius, yaitu keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada
anggota-anggotanya; 2) Fungsi afektif, yakni keluarga memberikan kasih sayang
dan melahirkan keturunan; 3) Fungsi sosial; keluarga memberikan prestise dan
status kepada semua anggotanya; 4) Fungsi edukatif; keluarga memberikan
pendidikan kepada anak-anaknya; 5) Fungsi protektif; keluarga melindungi
anggota-anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis, dan psiko-sosial; dan 6)
Fungsi rekreatif. yaitu bahwa keluarga merupakan wadah rekreasi bagi
anggotanya.
Melihat beragamnya fungsi
keluarga tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah institusi sentral
penerus nilai-nilai budaya dan agama (value transmitter). Artinya, keluarga
merupakan tempat pertama dan utama bagi seorang anak mulai belajar mengenal
nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya, dari hal-hal yang sangat sepele,
seperti menerima sesuatu dengan tangan kanan sampai pada hal-hal yang sifatnya
sangat rumit, seperti interpretasi yang kompleks tentang ajaran agama atau
tentang berbagai interaksi manusia. Suatu keluarga akan menjadi kokoh, bilamana
keenam fungsi yang disebutkan tadi berjalan harmonis. Sebaliknya, bila
pelaksanaan fungsi-fungsi di atas mengalami hambatan akan terjadi krisis
keluarga. Keluarga juga akan mengalami konflik, bila fungsi-fungsi itu tidak
berjalan secara memadai. Misalnya, jika fungsi edukatif tidak berjalan efektif
maka kemungkinan hubungan anak dan orangtua akan mengalami ketidakteraturan
(disorder).
Sebagai penerus utama nilai-nilai, dalam lingkungan
keluarga juga berlangsung mekanisme pemilihan tokoh identifikasi. Anak meniru
pola perilaku orang dewasa di dalam keluarga. Yang ditiru dapat berupa
perilaku, gaya bicara atau sifat-sifat khasnya. Ditinjau dari perspektif
gender, keluarga merupakan laboratorium dimana sejak anak dilahirkan ia belajar
dan mengenal perilaku yang terkait pada gender seseorang (gender related
behavior). Karena keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama
bagi seorang individu, maka nilai-nilai agama dan
prinsip-prinsip moral harus
di mulai dari rumah. Nilai-nilai agama berupa keadilan, kejujuran, kebenaran,
keberanian mengatakan yang benar, penghargaan dan penghormatan kepada sesama
manusia, nilai-nilai persamaan, persaudaraan dan kebebasan hendaknya ditanamkan
sejak usia dini. Dalam konteks ini orang tua: ayah dan ibu memiliki peran yang
amat penting untuk mengajarkan anak-anaknya rasa saling mengasihi, kepedulian,
keindahan, kebersihan, ketertiban, dan kedisiplinan.
Konsep Keluarga Sakinah
Lalu apa yang dimaksudkan
dengan keluarga sakinah? Kata sakinah berasal dari Bahasa Arab yang berarti
"ketenangan" dan "ketenteraman jiwa". Kata ini berulang
sebanyak enam kali dalam Al-Qur`an dan semuanya menjelaskan bahwa sakinah itu
didatangkan Allah swt. ke dalam hati para Nabi dan orang-orang beriman agar
tabah dan tidak gentar menghadapi segala bentuk tantangan, rintangan, ujian,
cobaan dan musibah. Dengan demikian keluarga sakinah dapat berarti keluarga
yang tangguh dan di dalamnya setiap anggota menemukan ketenangan dan
ketenteraman jiwa. Keluarga sakinah tidak lain adalah keluarga yang bahagia
lahir batin, penuh diliputi cinta kasih mawaddah wa rahmah, seperti
dinyatakan dalam firman Allah swt (Q.S. ar-Rum, 30:21).
Secara umum gambaran keluarga
sakinah dapat merujuk pada sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Dailami
dari Anas sebagai berikut: "Apabila Allah menghendaki suatu keluarga
itu bahagia, maka ada lima indikator yang diberikan. Pertama keluarga itu taat
menjalankan ajaran agama; kedua, anggota keluarga yang muda menghormati yang
lebih tua; ketiga, mencari penghidupan (rezeki) dengan jalan yang halal, tidak
tamak dan tidak serakah; keempat, membelanjakan hartanya dengan cara yang hemat
dan sederhana, tidak boros dan juga tidak kikir; dan kelima, senantiasa
melakukan introspekrsi diri agar dapat melihat kekurangan dan kesalahannya sehingga
cepat bertaubat kepada Allah swt. Sebaliknya jika Allah menghendaki suatu
keluarga itu tidak bahagia, maka Dia membiarkan keluarga itu dalam kesesatan.
Hadis Nabi tersebut
menjelaskan secara rinci tentang lima ciri yang dimiliki oleh suatu keluarga
ideal, yaitu seluruh anggota keluarganya secara tekun dan taat menjalankan
perintah agama. Sesuai dengan salah satu fungsi keluarga, yakni fungsi
religius, maka keluarga diharapkan dapat melakukan fungsi transformasi
nilai-nilai agama kepada seluruh anggota keluarga. Dalam hal ini tentu kedua
orang tua: ayah dan ibu sama-sama diharapkan dapat menjalankan fungsi ini
dengan sebaik-baiknya. Pendidikan agama harus berawal dan bermula dari
keluarga, sedangkan lembaga sekolah sifatnya hanya membantu atau bersifat
komplementer. Karena itu, sangat kelirulah bagi kedua orang tua yang
menggantungkan sepenuhnya pendidikan agama bagi anak-anak mereka kepada lembaga
sekolah.
Selain melaksanakan fungsi religius dengan baik, suatu
keluarga disebut sakinah manakala fungsi-fungsi lainnya berjalan seimbang,
yaitu fungsi afektif, fungsi sosial, fungsi edukatif, fungsi protektif, dan
fungsi rekreatif. Jika dikaitkan dengan hadis tersebut, fungsi-fungsi dimaksud
dapat diimplementasikan dalam bentuk
mengajarkan kepada anggota keluarga
tentang pentingnya penghormatan kepada yang lebih tua. Mengajarkan tentang
bagaimana mencari jalan penghidupan yang halal sehingga terhindar dari jalan
yang tidak dibenarkan agama. Selanjutnya, mengajarkan bagaimana cara
membelanjakan harta di jalan yang benar, tidak berfoya-foya, tetapi tidak pula
berlaku kikir. Keluarga juga tempat belajar untuk introspeksi diri sehingga
masing-masing anggota keluarga dapat menyadari kekeliruan dan kesalahannya
untuk selanjutnya bertaubat kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun. Jika
seluruh fungsi-fungsi keluarga tersebut berjalan seimbang, maka dapat
dipastikan bahwa seluruh anggota dalam keluarga itu akan diliputi rasa bahagia,
damai, tenteram, dan harmonis.
Prinsip Keadilan Gender
Dalam Keluarga Sakinah
Selanjutnya, bagaimana agar
keluarga dapat berfungsi sebagai benteng bagi tumbuhnya budaya korupsi? Yang
pertama dan utama, harus disepakati bahwa keluarga selalu terdiri paling tidak
atas dua unsur, yakni ayah dan ibu atau suami-isteri. Keduanya harus saling bahu-membahu
dan bekerjasama secara harmonis dan kompak dalam menjalankan fungsi-fungsi
keluarga. Seringkali yang terjadi di masyarakat hanya satu unsur yang berfungsi
dalam keluarga, yakni ayah. Sementara ibu tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik akibat terlalu didominasi oleh ayah. Demikian pula sebaliknya.
Karena itu, unsur dominasi dalam keluarga harus dihilangkan agar kedua unsur
tadi dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sebab, setiap bentuk dominasi
selalu berujung kepada pengabaian dan pengingkaran hak asasi manusia.
Relasi suami-isteri hendaknya
setara dan harmonis, bukan hubungan yang timpang sehingga tidak ada yang merasa
superior maupun inferior. Suami-isteri sama-sama berfungsi sebagai pemimpin
sesuai dengan kapasitas masing-masing. Hadis Nabi berikut menjelaskan secara
terang benderang. ”Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin dan akan
diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang suami menjadi pemimpin
dalam keluarga dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Seorang isteri menjadi pemimpin rumah tangga dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin atas
harta tuannya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang
anak menjadi pemimpin atas harta orang tuanya dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Jadi setiap kamu adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (HR. Abdullah ibn Umar).”
Hadis tersebut berbicara soal
kepemimpinan dalam keluarga. Di sana terlihat sangat jelas bahwa peran dan
posisi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga adalah setara, yakni
sama-sama menjadi pemimpin. Karena itu, tidak boleh ada dominasi laki-laki
terhadap perempuan demikian pula sebaliknya. Keduanya sama-sama pemimpin yang
akan dituntut pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Yang ingin ditegaskan
dalam hadis itu bukanlah soal jenis kelamin, melainkan siapa yang mampu
melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik untuk dihadapkan kepada Allah swt.
di hari kemudian.
Seorang isteri dapat memainkan perannya dengan baik
dalam keluarga manakala ia
diberikan kesempatan dan
peluang yang optimal untuk memainkan peran tersebut. Akan tetapi, di masyarakat
kita kebanyakan isteri berada dalam dominasi suami dan ia diperlakukan sebagai
subordinat atau sebagai “bawahan” yang tidak independen dan karenanya sulit
mengambil keputusan sendiri. Dalam kondisi demikian akan sulit bagi kita
meminta isteri untuk memainkan perannya secara optimal.
Muhammad Abduh (1849-1905),
seorang tokoh reformis Islam asal Mesir dalam bukunya yang berjudul: Al-Usrah
wa al-Mar`ah menjelaskan bahwa bagian terpenting dari masyarakat modern
adalah individu, Umat terdiri dari unit-unit keluarga. Kalau unit-unit ini
tidak memberikan lingkungan yang sehat dan fungsional bagi individu di dalamnya
maka masyarakat akan hancur berantakan. Lebih jauh Abduh menjelaskan:
sesungguhnya umat terbangun atas sejumlah rumah tangga (unit-unit keluarga),
jika keluarga itu baik maka umat pun akan menjadi baik. Barangsiapa tidak memiliki
keluarga berarti tidak mempunyai umat. Laki-laki dan perempuan adalah dua jenis
makhluk yang memiliki hak, kebebasan beraktivitas, perasaan, dan akal yang
sama. Oleh karena itu, jika seorang laki-laki berupaya menindas dan
mengeksploitasi perempuan dengan tujuan untuk berkuasa di rumahnya sendiri, itu
berarti ia telah menciptakan generasi budak.
Relasi orang tua dan anak pun
harus diwarnai oleh sikap demokratis, bukan sikap otoritarian dan feodalistik.
Anak harus didorong berani mengekspresikan pendapat dan berkata jujur, meskipun
pahit. Anak harus didengar pendapatnya dan diperlakukan sebagai manusia yang
utuh. Anak hendaknya diperlakukan sebagai teman, sahabat, dan tempat curhat.
Dengan begitu hubungan orang tua dan anak kelak menjadi dekat dan akrab.
Kedekatan dan keakraban ini tidak harus menghilangkan rasa hormat dan patuh
anak kepada orang tua. Anak harus selalu menyadari posisinya sebagai anak, dan
orang tua pun demikian. Posisi yang berbeda itu tidak harus melahirkan hubungan
yang kaku di antara keduanya. Dengan ungkapan lain, keluarga sakinah adalah
keluarga dimana seluruh anggota keluarga, paling tidak suami-isteri, sama-sama
berfungsi dengan baik menjalankan hak dan kewajiban masing-masing secara
tenang, tententeram, dan bahagia. Keluarga yang seluruh anggotanya penuh
diliputi cinta kasih, mawaddah wa rahmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar