Merenungi Sejenak
Perjalanan Abadi Manusia
Oleh : Rohmat
Afif Al Anshori
الْحَمْدُ للهِ، خَلَقَ الخَلْقَ
وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ،
بِهِمْ نَتَأَسَّى وَنَقْتَدِي، وَبِهُدَاهُمْ نَهْـتَدِي، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ
بِمَا هُوَ لَهُ أَهْـلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ
وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْـلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ
وَرَسُولُهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ القُرآنَ المُبِينَ؛ بَلاَغًا لِقَوْمٍ
عَابِدِينَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ، صلّى الله عليه وسلّم وَعَلَى
آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ
أَمَّا بَعْدُ : قيل أيها المسلمون أوصي نفسي و إياكم بتقوى الله فقد
فازالمتقون
Kaum Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang
dirahmati Allah
Di tengah
kehidupan yang senantiasa bergulir, jumat demi jumat berlalu, seiring itu juga
khutbah demi khutbah kita perdengarkan dan menyirami sejenak hati yang penuh
ketundukan dan mengharapkan keridhoaan Allah. Kesadaran kemudian muncul
dengan tekad untuk menjadi hamba Allah yang taat. Namun kadangkala dengan
rutinitas yang kembali mengisi hari-hari kita kesadaran itu kembali tumpul
bahkan luntur. Oleh sebab itulah melalui mimbar jumat ini khotib kembali
mengajak marilah kita berupaya secara sungguh-sungguh memperbaharui keimanan
dan ketaqwaan kita kepada Allah, memperbaharui kembali komitmen kita kepada
Allah yang sering kita ulang-ulang namun jarang diresapi, sebuah komitmen yang
mestinya menyertai setiap langkah kita:
إِنَّ
صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لا
شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأنا من الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah termasuk orang orang yang menyerahkan
diri.
Kaum Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang
berbahagia
Imam Ibnu
Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya bahwa: Suatu ketika Umar bin Khathab ra
bertanya kepada seorang sahabat bernama Ubay Ibnu Ka’ab ra tentang taqwa walau
hal itu merupakan suatu hal yang sangat mereka ketahui, namun bertanya satu
sama lainnya di antara mereka dalam rangka mendalaminya adalah hal yang sangat
mereka sukai. Kemudian Ubay balik bertanya: “Wahai Umar, pernahkah engkau
melalui jalan yang di penuhi duri?” Umar menjawab, "ya, saya pernah
melaluinya. Kemudian Ubay bertanya lagi: “Apa yang akan engkau lakukan saat
itu?”. Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sangat berhati-hati, agar tak
terkena duri itu”. Lalu Ubay berkata: “Itulah takwa”.
Dari
riwayat ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting, bahwa takwa adalah
kewaspadaan, rasa takut kepada Allah, kesiapan diri, kehati-hatian agar tidak
terkena duri syahwat dan duri syubhat di tengah perjalanan menuju Allah,
menghindari perbuatan syirik, meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa, yang
kecil maupun yang besar. Serta berusaha sekuat tenaga mentaati dan melaksanakan
perintah-perintah Allah dengan hati yang tunduk dan ikhlas.
Hadirin Jama’ah sholat jumat rahimakuullah
Setiap
orang beriman pasti akan menyadari bahwa ketika ia hidup di dunia ini, ia akan
hidup dalam batas waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh penciptanya, Allah
SWT. Usia manusia berbeda satu sama lainnya, begitu juga amal dan bekalnya.
Setiap orang yang berimanpun amat menyadari bahwa mereka tidak mungkin
selamanya tinggal di dunia ini. Mereka memahami bahwa mereka sedang melalui
perjalanan menuju kepada kehidupan yang kekal abadi. Sungguh sangat berbeda dan
berlawanan sekali dengan kehidupan orang-orang yang tidak beriman. Allah
berfirman:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا . وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Tetapi kamu (orang-orang
kafir) lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al-A’la: 16-17)
Sayangnya,
kesadaran ini seringkali terlupakan oleh diri kita sendiri. Padahal, bukan
tidak mungkin, hari ini, esok, atau lusa, perjalanan itu harus kita lalui,
bahkan dengan sangat tiba-tiba. Jiwa manusia yang selalu digoda oleh setan,
diuji dengan hawa nafsu, kemalasan bahkan lupa, kemudian menjadi lemah semangat
dalam mengumpulkan bekal dan beribadah, membuat kita menyadari sepenuhnya bahwa
kita adalah manusia yang selalu membutuhkan siraman-siraman suci berupa
Al-Quran, mutiara-mutiara sabda Rosulullah, ucapan hikmah para ulama, bahkan
saling menasehati dengan penuh keikhlasan sesama saudara seiman. Sehingga kita
tetap berada pada jalan yang benar, istiqomah melalui sebuah proses perjalanan
menuju Allah SWT.
Hadirin Jama’ah Sholat Jumat yang dimuliakan
Allah
Jika kita
membuka kembali lembaran kisah salafus shalih, kita akan menemukan karakteristik
amal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada diantara mereka yang konsent
pada bidang tafsir, hadits, fiqih, pembersihan jiwa dan akhlak, atau berbagai
macam ilmu pengetahuan lainnya. Namun, satu persamaan yang didapat dari para
ulama tersebut, yaitu kesungguhan mereka beramal demi memberikan kontribusi
terbaik bagi sesama. Sebuah karya yang tidak hanya bersifat pengabdian diri
seorang hamba kepada Penciptanya saja, namun juga mempunyai nilai manfaat luar
biasa bagi generasi berikutnya. Marilah kita renungi firman Allah berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ
اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ
كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari
(kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash: 77).
Hadirin yang dimuliakan Allah
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran penting, tentang beberapa prinsip yang perlu kita sadari bersama akan keberadaan kita di dunia ini.
Pertama, prinsip mengutamakan kebahagiaan
kehidupan akherat. Prinsip ini menghendaki agar dalam melaksanakan kehidupan di
dunia, kita senantiasa mengutamakan pertimbangan nilai akherat. Namun perlu
dipahami, mengutamakan kebahagiaan akherat bukan berarti dalam mewujudkan
kebahagiaan duniawi diabaikan begitu saja, sebab amal akherat tidak berdiri
sendiri dan terlepas dari amal duniawi. Sungguh amat banyak amalan akherat yang
berhubungan erat dalam mewujudkan kebahagian duniawi.
Umpamanya sholat, seorang yang melaksanakan shalat dengan
tekun dan disiplin bukanlah semata-mata sebagai amal akherat yang tidak
berdampak duniawi, sebab bila shalat itu dilaksanakan menurut tuntutan Allah
dan rasulNya, yang secara berjamaah, niscaya ia akan banyak memberikan hikmah
dalam kehidupan dunia. Dengan shalat yang benar akan dapat mencegah seseorang
dari berbuat keji dan munkar. Dengan demikian manusia akan terhindarnya dari
perbuatan yang dapat merugikan orang lain, sehingga terciptalah ketenteraman
hidup bersama di dunia ini.
Begitu juga
dengan infak dan shodaqoh, seorang yang beramal dengan niatan mulia untuk
mendapatkan ganjaran berupa pahala dari Allah di akherat, maka dengan hartanya
tersebut dapat memberikan manfaat bagi kehidupan orang lain yang membutuhkan.
Kedua prinsip
‘ahsin’ yaitu senantiasa menghendaki kebaikan. Bila seseorang menanamkan
prinsip ini dalam dirinya, niscaya ia akan menunjukkan diri sebagai orang yang
pada dasarnya selalu menghendaki kebaikan. Ia akan senantiasa berprasangka baik
kepada orang lain, selalu berusaha berbuat baik dan berkata baik dalam
pergaulan di kehidupan sehari-hari.
maka akan selalu tampillah kebaikan demi kebaikan,
mempersembahkan sebuah karya terbaiknya untuk kemanfaatan masyarakat
disekitarnya, peduli akan kemaslahatan umum, dan meninggalkan sebuah kebaikan
yang akan selalu dapat dikenang oleh orang banyak walaupun ia sudah pergi
terlebih dahulu menuju kehidupan yang abadi.
Ketiga adalah prinsip walaa tabghil fasada fil ardh’
yaitu prinsip untuk tidak berbuat kerusakan. Bila
prinsip ini dipegang teguh, seseorang akan lebih melengkapi prinsip yang kedua,
yakni melengkapi upayanya berbuat baik dengan upaya menghindari perbuatan yang
merusak. Terjadinya kerusakan alam, kerusakan moral, kerusakan dalam tatanan
kehidupan masyarakat sering kali terjadi karena sudah hilangnya kesadaran akan
tujuan hidup yang sesungguhnya, sehingga seorang lupa bahwa sesungguhnya ia
tidak dibiarkan begitu saja, bahwa ia akan mempertanggung jawabkan segala
perbuatannya ketika ia menghadap Allah di akherat kelak.
Hadirin sidang sholat jumat yang dimuliakan
Allah
Allah swt
mengingatkan kita dengan firmannya:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ
الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ
“Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqoroh: 197)
Walaupun ayat di atas menjelaskan tentang bekal penting
dalam perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ia merupakan gambaran ketika
manusia akan menghadap Allah di padang mahsyar kelak, ibadah haji merupakan
miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di padang mahsyar nanti
sebagaimana halnya mereka berkumpul di padang arafah. Maka bekal utama yang
dapat menyelamatkan itu adalah taqwa.
Firman Allah SWT di atas juga memiliki makna tersirat bahwa
manusia memiliki dua bentuk perjalanan, yakni perjalanan di dunia dan
perjalanan dari dunia. Perjalanan di dunia memerlukan bekal, baik berbentuk
makanan, minuman, harta, kendaraaan dan
sebagainya. Sementara perjalanan dari dunia juga memerlukan bekal.
Namun perbekalan yang kedua yaitu
perbekalan perjalanan dari dunia menuju akhirat, lebih penting dari perbekalan
dalam perjalanan pertama yakni perjalanan di dunia. Imam
Fachrurrozi dalam dalam tafsirnya menyebutkan ada lima perbandingan antara keduanya:
Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan kita
dari penderitaan yang belum tentu terjadi. Tapi perbekalan untuk perjalanan
dari dunia, akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang pasti terjadi.
Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia, setidaknya akan
menyelamatkan kita dari kesulitan sementara, tetapi perbekalan untuk perjalanan
dari dunia, akan menyelamatkan kita dari kesulitan yang tiada tara dan tiada
habis-habisnya.
Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia akan menghantarkan
kita pada kenikmatan dan pada saat yang sama mungkin saja kita juga mengalami
rasa sakit, keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan untuk
perjalanan dari dunia menuju akhirat, akan
membuat kita terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan
yang sia-sia.
Keempat, perbekalan dalam perjalanan di
dunia memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan dan meninggalkan sesuatu
dalam perjalanan. Sementara perbekalan untuk perjalanan dari dunia, memiliki
karakter, kita akan lebih banyak menerima dan semakin lebih dekat dengan
tujuan.
Kelima, perbekalan dalam perjalanan di
dunia akan mengantarkan kita pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu. Sementara
perbekalan untuk perjalanan dari dunia akan semakin membawa kita pada kesucian
dan kemuliaan karena itulah sebaik-baik
bekal. (Tafsir Ar-Raazi 5/168)
Sesungguhnya perjalanan itu cukup
berat, dan masih banyak bekal yang perlu
disiapkan. Semua kita pasti tahu bekalan yang sudah kita siapkan masing-masing. Jika kita anggap bekalan itu masih kurang, tentu kita
tidak akan rela seandainya tidak lama lagi
ternyata kita harus segera menempuh perjalanan menuju akhirat itu.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ
وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ
هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar